Seno Gumira Ajidarma ~ Trilogi Insiden

    Author: support99 Genre: »
    Rating

     Trilogi Insiden
    SGA adalah seorang wartawan Majalah Jakarta Jakarta (JJ)saat Tragedi Dili terjadi dan akibat pemuatan laporannya seputar Tragedi Dili, pihak manajemen JJ mencopot jabatannya. Karena pemerintah menilai pemberitaan Tragedi tersebut dinilai subversive. Ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya Jurnalisme tidak pernah bisa benar-benar otonom dan bebas, ada berbagai permintaan kepentingan yang harus dituruti. Kepentingan penguasa dengan alasan menjaga stabilitas politik atau kepentingan pengusaha dengan alasan untuk stabilitas ekonomi.  

    SGA dalam salah satu esainya menilai jika ini yang terjadi maka Jurnalisme akan kehilangan makna sebagai media dalam arti sesungguhnya: Mengusahakan segalanya demi harkat manusia. Dan ruang kosong inilah yang diisi SGA dengan tulisan-tulisannya ;  memasukkan sejumlah fakta yang tidak bisa tersentuh jurnalisme, dalam karya sastranya.

    Dalam beberapa esainya; tentang empat cerpen, trilogi penembak misterius: Obsesi mayat bertato dan Jakarta-jakarta dan Tragedi Dili, SGA menuliskan proses yang ia lalui ketika sebuah cerpen dibuat selain berdasarkan fakta juga karena empati SGA terhadap korban. Sebut saja misalnya cerpen Listrik yang ditulis setelah membaca laporan Amnesti Internasional mengenai perlakuan yang diterima napol yang terlibat Tragedi Dili.  Sementara cerpen Maria ditulis ketika ia membayangkan perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Dan cerpen Salvador untuk kenangannya terhadap Xanana Gusmou.

    Walaupun SGA dalam satu esainya menuliskan bahwa ia tidak mengejar kualitas sastra dalam menuliskan cerita pendeknya namun mengungkap sebuah fakta Treagedi Dili, namun pembaca tetap akan merasai membaca sebuah sastra yang berkualitas. Kepiawaian  SGA  memadukan bermacam genre dalam satu tulisan, menjungkirbalikkan logika dalam penuturannya dan menyelipkan sebuah fakta tanpa membuat cerpen menjadi kaku dan sistemastis. Tetap mengaduk emosi pembaca dengan ending tidak terduga, seperti dalam cerpen Pagar Da Silva.

    Berikut adalah kutipan yang diambil dari cerpen berjudul  ‘Saksi Mata’

    “Saudara Saksi Mata.”

    “Saya pak.”

    “Dimana mata Saudara?”

    “Diambil orang Pak.”

    “Diambil?”

    “Saya Pak.”

    “Maksudnya dioperasi?”

    “Bukan Pak, diambil pakai sendok.”

    “Haa?Pakai sendok? Kenapa?”

    “saya tidak tahu kenapa Pka, tapi katanya mau dibikin tengkleng.”

    “Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang.”

    “Yang mengambil mata saya Pak.”

    Novel Jazz, Parfum dan Insiden ditulis  dengan struktur paralelisasi antara tokoh aku yang seorang wartawan, esai jazz dan sejumlah teman perempuannya  yang menggunakan parfum  berbeda. Dan tulisan mengenai Jazz berikut perempuan dan parfumnya lebih mendominasi  dibanding tokoh aku dan keterlibatannya dengan sejumlah laporan insiden. Menurut pengakuan SGA gaya penulisan ini di maksudkan hanya sekedar akal bulus untuk memasukkan fakta (tragedi Dili). Namun begitu SGA berhasil mengaitkan filosofi Jazz, parfum dan insiden menjadi satu kesatuan dalam novelnya. Menghibur sekaligus ‘menggebuk’ pembaca .

    Dengan tak terduga novel ini memunculkan tokoh Sukab dan Alina (tokoh ciptaan SGA yang kerap muncul dalam cerpen-cerpen nya yang lain*). Sukab yang sebelumnya dikenal tokoh aku ternyata kini berprofesi sebagai intelegent.  Apa pretensi SGA memunculkan kedua tokoh ini dalam novelnya? Sekedar akal bulus atau membiarkan pembaca memberi tafsiran sendiri? Namun yang pasti kemunculan tokoh ini secara tiba-tiba membuat saya tersenyum.

    SGA mencoba berimbang dalam menyajikan fakta yang dikemas dalam bentuk fiksi ini berimbang antara pelaku dan korban melalui cerpen Darah itu Merah, Jendral dan bab Laporan Insiden 5 pada novel Jazz, Parfum dan Insiden. Keduanya melihat Tragedi Dili dari kacamata seorang militer  namun bukan prajurit yang notabene berada di lapangan dan berhadapan langsung dengan konflik. Dilema yang dialami prajurit tentu akan berbeda dengan seorang jendral. Mungkin akan terasa lebih berimbang jika dalam salah satu cerpennya SGA menceritakan kegelisahan seorang prajurit ketika dikirimkan ke daerah konflik, dilema antara tugas Negara, keluarga dan kepasrahannya terhadap kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada diri dan keluarganya. Dan konflik batin saat harus berhadapan dengan pilihan terbunuh atau membunuh.

    Mungkin kehidupan memang seperti halnya  musik Jazz penuh improvisasi. Sementara Jazz berimprovisasi menuruti suasana hati maka hidup harus berimprovisasi untuk mengatasi berbagai masalah. Dan militer melakukan improvisasi terhadap demonstrasi yang terjadi di Dili (laporan insiden 5).  Mungkin itu sebabnya pemerintah masih tetap menggunakan kata  Insiden – merujuk pada kejadian tidak sengaja – untuk Tragedi yang terjadi di Dili. Dan semoga penerbitan ulang buku ini mampu mengingatkan semua pihak bahwa Tragedi Dili merupakan bagian dari sejarah bangsa ini yang tidak boleh dilupakan.

    Selayaknya karya satra bukanlah sekedar hiburan, Ia lahir dari sebuah pemikiran yang merefleksikan  zamannya dan tidak lepas dari realitas faktual yang terjadi pada masyarakat. Mengutip yang ditulis SGA dalam sebuah esainya, ‘imajinasi tidak mampu melepaskan fakta dari kebenaran, barangkali ia menjadi fiksi tapi tetap kebenaran.

    sumber :

    http://baltyra.com

    Leave a Reply