Merapi Gugat ~ Antologi Puisi Etnik 13 Penyair

    Author: support99 Genre: »
    Rating

    xbook ~ Hmmmm.... Jujur, sebenarnya saya pribadi bukan pengamat sastra, saya seorang sanguinis dengan banyak bacot-bacot nya yang kadang egois, di bumbui melankolis yang kadang menyeruak hebat mengadaptasi moment-momen, situasioner serta sporadis. Tapi saya tetap sanguin. :) walau ada melo nya sedikit saya gak berani lebay apalagi alay..hehe.. Janji pada seorang sahabat untuk membuat resensi bukunya membawa saya pada postingan ini.

    Berteman lewat jejaring sosial dengan beberapa orang penyair dan seniman membawa saya pada sebuah buku kecil berpenumpang penuh, 13 orang penyair berkumpul membuat satu karya setebal 157 halaman. Hmm...masing-masing kebagian 12-13 halaman dipotong biografi penulis 1 halaman. Bercerita tentang bencana letusan gunung Merapi 2010 lalu yang lebih melambungkan nama sang juru kunci yang ikut terpanggang dalam gulungan murka alam ketimbang yang lain. hehe..

    Sekali lagi saya tekankan.. Saya nggak ngerti sastra, satu-satunya referensi mengenai apa itu sastra yang jadi literatur saya dalam memandang sastra adalah kalimat dari seorang rekan selama saya mengais rejeki sebagai salesman produk blender multifungsi di tanah berair payau, Borneo. Rekan itu, lebih tua dua warna seragam sekolah-lah dari saya.. berprofesi juga sebagai salesman. Lho..? iya. Trus apa hubungannya dengan sastra ? he.. bentar, tak terusin dulu.. 

    Rekan itu punya perpustakaan pribadi di kamar kos nya, anak-anak biasa memanggilnya Kang Asep. Dinding kiri kanan, bahkan di atas dispenser dan kasur pegas nya dipenuhi rak buku. Tidak kurang dari 300-an judul (untuk standar kamar kos kubus 2,5x2,5 meter lumayan makan tempat). Dari buku tuntunan sholat lengkap produksi Toha putra bersampul ungu, hingga primbon jawa berikut kamasutra india versi full color. Tetapi yang sedikit membuat saya bertanya, awalnya hanya dalam hati (karena belum akrab) kenapa buku-buku berbau pemasaran sangat minim, paling banyak sepuluh buku, itupun yang standar-standar saja. Selebihnya beraneka ragam kebanyakan novel, dan beberapa sastra berat. Padahal dia seorang sales.?

    Setelah akrab karena satu hobi (penikmat kata-kata), saya coba beranikan diri untuk bertanya..sebenarnya gk takut-takut amat sih buat bertanya, gelut pun gak gentar...hehe.. nunggu waktu yang pas aja gitu. Pertanyaannya sama kaya paragraf ke tiga bagian sepertiga akhir tepat di atas paragraf ini. (males ngetik lagi soalnya) bla..bla..bla..kenapa ? give me a reason, why ? 

    Jawabannya cukup buat otak sederhana saya mikir.. Santai, Kang Asep cuma bilang gini.."Buku marketing isinya itu-itu saja, mau satu kontainer di koleksi muternya juga ke situ-situ lagi. Dengarkan ini anak muda, kita adalah penjual dan banyak yang berprofesi sebagai penjual seperti kita, jika kita melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan maka kita tidak akan mencapai apa-apa. Menghadapi konsumen tidak hanya butuh trik-trik marketing, tetapi lebih pada kejiwaan, 80 % transaksi di tentukan oleh kesan pertama. Bagaimana kita bisa meninggalkan kesan bila yang kita lakukan sama seperti sales kebanyakan. Lakukan hal yang tidak lazim."

    "hmmm... benar itu kang, saya setuju. Tapi, apa hubungannya dengan novel and sastra yang saya tanya tadi..?" terima jawaban protokoler begitu saya kembali kejar ke pokok pertanyaan.

    "Haha..." Dia tertawa.. Kang Asep maksud saya.

    "Dengan membaca novel, roman dan buku-buku sastra yang banyak bermain dengan kata-kata, perbendaharaan kata kita bertambah, itu bekal, dengan bekal itu kita bisa menawarkan sesuatu dengan bahasa yang berbeda pula. Itulah yang akan membuat kita berbeda dan unik dari yang lain."

    "Oh.." otak saya langsung bekerja mencari padanan kata dalam sastra yang berati sama dengan 'blender'. hehehe...

    Kurang lebih begitulah kira-kira referensi sastra yang pernah mampir ke saya. Ya, cuma itu. Karena itu saya tidak akan membahas buku Antologi Puisi Etnik 13 Penyair ini dari sudut pandang Sastra-Man. Tetapi lebih kepada sudut pandang penikmat kata-kata (pembaca). Dan mungkin juga secara global di luar sastra itu sendiri. 

    Ok, back ke topik. Coba kita lemparkan satu pertanyaan kepada khalayak, yaitu "Apa yang Anda Ketahui tentang Bencana Merapi ?" jawaban mereka kompak. "Mbah Maridjan". hehe..boleh di coba kalo gak yakin. :). Memang benar, itulah yang sebenarnya. Buku ini membuka ruang baru sudut paham saya, bahwa selain mbah maridjan, ada duka, ada nestapa, ada tanya, ada gugatan, ada pelampiasan, ada murka, ada tawa bahkan serapah yang menyertai amuk gunung ini. ke 13 penyair menyuarakan kecintaan, keintiman, kebencian dan kemurkaannya pada sesuatu entah itu pada alam, manusia, takdir atau pada Tuhan lewat gejolak kata-kata yang sususannya aneh menurut mata awam. Dan itu menurut saya indah ! (menolak dikatakan awam hehe).. pledoi. Mereka menyuarakan Bencana Merapi dengan bahasa yang berbeda.

    Luapan imajinasi yang tersenggal-senggal menciptakan gumam bermakna di beberapa karya, kadang tak sampai 10 kata mewakilinya, padat, bernas. Kadang semua serapah tercurah tak kalah ganas dengan wedhus Gembel menghabiskan kuota 13 halaman dengan dengan tiga-empat karya cepat, panjang, emosinal. Beberapa menyelipkan suara cinta dan kehidupan yang jauh dari isu merapi sebagai pelangkap kuota karena imajinasi biasanya terhenti saat berhadapan dengan angka. Beberapa secara brilian memasukkan bahasa etnis dalam karya, yang saya duga dan saya mahfum jika voice of soul kadang tak butuh padanan kata.. Diluar misi dan genre sastra etnik saya pribadi memandang mengalih bahasakan sesuatu karya yang bersumber dari dalam jiwa kadang membunuh pesan secara keseluruhan, bahkan menghianati jiwa yang mengilhami. Biarlah begitu adanya karena bahasa Jiwa bukan untuk di pahami. Sekali lagi, minta maaf..saya hanya penikmat kata-kata bukan analisis satra.^_^'

    Satu hal yang menarik dari lahirnya buku ini, kalo gak salah, berawal dari saling berbagi di jejaring sosial, komunitas unik spesifik, beberapa penyair seakan mendapat tempat yang selama ini tidak mereka dapatkan. Kesendirian memang membunuh segala hal. Analoginya seperti ini, Jejaring Sosial mempertemukan sosok forever alone dengan forever alone lainnya, kedua forever alone lalu bertemu dengan forever alone lainnya, seterusnya dan seterusnya, berulang, membesar. Bukan hanya menemukan saudara sepemahaman, kreativitas yang hampir terkubur karena kesendirian membuncah hebah tak terbendung-bendung saat mendapatkan tempat dan teman. Elang memang berteman dengan Elang. Tinggal kapan dan dimana mereka akan bertemu. Buku ini adalah bukti akan kekuatan Jejaring Sosial dalam membentuk, menampung dan mencipta. Atau lebih jauh lagi bahwa ini bukti dari kekuatan imajinasi dan otak kanan dalam mekanika purba gaya tarik menarik.

    Terakhir, buat Teteh Ratu Ayu dan Mas Hadi Lempe serta ke sebelas penyair lainnya, maaf kalo ulasannya rada ngawur... hehehe... [garuk-garuk kepala] saya menikmati karya-karya kalian dalam ruang imajinasi dan 'kepentingan' saya sendiri, begitupun yang lain saya kira. Membaca Merapi Gugat membuat saya tertawa, terpekur, hanyut, kaget, bingung, sedih, bangga dan masih banyak rasa yang kadang silih berganti ambil dominan dan kuasa. Saya hanya penikmat kata-kata, yang 'memanfaatkan' karya anda semua sebagai literatur penambah perbendaharaan kata yang tidak saya temukan di novel, roman, fiksi dan buku lainnya. Saya menikmati buku ini dengan cara saya sendiri yang saya pribadi pun tidak dapat mendefinisikan apa alasannya. Sastra memang tidak untuk di mengerti. Maturnuhun...:)

    udul : Merapi Gugat
    Antologi puisi sastra etnik 13 penyair
    Penerbit : Kosakatakita
    Tebal : 157 halaman

    ***





    2 Responses so far.

    1. support99 says:

      hehe... makasih gan... :D

      Nulinya sambil cengar-cengir itu.. :D

    Leave a Reply